Selasa, 27 Desember 2016

OMED-OMEDAN

Dari sekian banyak tradisi perayaan Hari Raya Nyepi, ada sebuah tradisi unik yang hanya dapat ditemui di Banjar Kaja Sesetan, Desa Sesetan, Denpasar. Tradisi tersebut bernama omed-omedan, yaitu ritual saling peluk dan tarik-menarik secara bergantian antara dua kelompok muda-mudi yang rutin diadakan setiap tahun pada hari pertama setelah Nyepi. Menurut salah seorang penglingsir dari Desa Sesetan, I Gusti Ngurah Oka Putra, omed-omedan diperkirakan telah ada sejak abad ke-17 dan terus berlangsung hingga saat ini. Menurut pewaris Puri Oka yang akrab disapa Ngurah Bima ini, “omed-omedan” berasal dari kata “omed” yang berarti menarik.

Sekali waktu di masa lalu, tradisi ini pernah ditiadakan. Tetapi, tiba-tiba di tengah desa muncul dua ekor babi hutan yang saling bertarung. Masyarakat Desa Sesetan menganggap hal tersebut sebagai pertanda buruk. Melihat pertanda ini, sesepuh desa pun segera memanggil kembali para muda-mudi untuk berkumpul dan menyelenggarakan omed-omedan seperti biasa. Setelah kejadian itu, tradisi ini terus diadakan secara rutin sebagai upaya agar desa terhindar dari malapetaka.

Dalam tradisi ini, para muda-mudi setempat dikelompokkan menjadi dua grup, yaitu grup pria (teruna) dan grup wanita (teruni). Sebelum ritual dimulai, seluruh peserta mengikuti upacara persembahyangan bersama di Pura Banjar. Melalui persembahyangan bersama ini, para peserta memohon kebersihan hati dan kelancaran dalam pelaksanaan ritual omed-omedan. Setelah ritual sembahyang, ditampilkan pertunjukan tari barong bangkung (barong babi) yang dimaksudkan untuk mengingat kembali peristiwa beradunya sepasang babi hutan di desa ini.

Kedua kelompok ini berbaris berhadap-hadapan dengan dipandu oleh para polisi adat (pecalang). Kemudian, secara bergantian dipilih seorang dari masing-masing kelompok untuk diangkat dan diarak pada posisi paling depan barisan. Kedua kelompok ini kemudian saling beradu dan kedua muda-mudi yang diposisikan paling depan harus saling berpelukan satu sama lain. Saat keduanya saling berpelukan, masing-masing kelompok akan menarik kedua rekannya tersebut hingga terlepas satu sama lain. Jika kedua muda-mudi ini tidak juga dapat dilepaskan, panitia akan menyiram mereka dengan air hingga basah kuyup.

Ketika pasangan muda-mudi saling bertemu dan berpelukan erat, ada kalanya mereka akan saling beradu pipi, kening, dan bahkan bibir. Masyarakat awam dari luar banyak yang menyalahartikan hal ini sebagai saling berciuman. Ritual omed-omedan pun secara salah kaprah mendapat sebutan ritual ciuman massal dari Desa Sesetan.

Ngurah Bima mengungkapkan hal ini kurang tepat, karena pasangan muda-mudi ini saling bertemu dalam tempo yang singkat dan kondisi yang ricuh. Meskipun peluang itu ada dan peserta menghendaki hal tersebut, tetapi kondisi yang keos tidak akan memungkinkan para pesertanya untuk menikmati momen tersebut.

Di masa lalu, masyarakat Sesetan hanya memandang tradisi omed-omedan sebagai bagian dari wujud masima krama atau dharma shanti (menjalin silaturahmi) antar sesama warga. Seiring perjalanan waktu, tradisi ini ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Menyadari hal ini, masyarakat setempat kemudian mengemas tradisi omed-omedan sebagai sebuah festival warisan budaya tahunan dengan tajuk Omed-omedan Cultural Heritage Festival yang juga dimeriahkan dengan bazzar dan panggung pertunjukan. Dari tahun ke tahun, pengunjung festival ini terus meningkat, terlebih lagi dari kalangan penggemar fotografi yang saling berkompetisi untuk mengabadikan momentum langka tersebut sebagai objek eksplorasi mereka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar