OGOH
– OGOH
Sehari
menjelang “Hari raya Nyepi” disebut hari
“Pengerupukan” jatuhnya pada hari panglong 15 bertepatan dengan hari Tilem
(bulan mati) sasih kesanga. Pada hari itu masyarakat Hindu di Bali melaksanakan
upacara butha yadnya penetralisir kekuatan kekuatan yang bersifat keburukan
seperti dengan melakukan pecaruan “ Tawur kesanga” (dalam sekala besarnya).
Dalam rangkaian upacara
tersebut, pada sandi kawon (sore menjelang malam hari) dilanjutkan dengan acara
“Magegobog” atau di Jembrana biasanya disebut Mebuwu-buwu yaitu mengelilingi
pekarangan rumah sambil membawa api perakpak(daun kelapa kering),obor,bunyi-bunyian,
menyemburkan mesui dan memercikkan tirta, sebagai symbol nyomio (menetralisir)
kekuatan kekuatan yang bersifat keburukan/ kejahatan. Setelah kegiatan
magegobog tersebut dilaksanakan, kemudian dilanjutkan keluar pekarangan membawa prangkat tadi menuju jalan utama di Desa atau di Kota
maning-masing, untuk kemudian bergabung dengan tetangga yang tadinya melakukan
hal yang sama, saat tersebut tanpa di komando pada umumnya anak anak muda
melanjutkan acara magegobog tersebut dengan cara berjalan menyusuri jalan
utama, akan terbentuk menyerupai pawai obor, hal tersebut dilakukan setiap hari
pengerupukan petang hingga malam sehingga menjadi semacam hiburan/tontotan
masakat.
Pada tahun 1981 (sehari
menjelang tahun caka 1903) penulis sempat menyaksikan acara kelanjuatan
megegobog yang sangat menarik perhatian. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh
sekelompok pemuda desa Batu Agung yang rata-rata suka melucu saat itu adalah :
Di tengah tengah ramainya pawai obor dijalan raya Batu Agung menuju Kota
Negara, kelompok pemuda tadi mengusung keranda (Pepaga/media pengusung jenazah
ke kuburan) dengan menggunakan bangku panjang anak murid Sekolah Dasar
diselimuti kain putih sedemikian rupa sehingga menyerupai keranda dengan
jenazahnya yang seperti akan diantar
menuju ke kuburan, diiringi oleh pemuda pemuda lucu melantunkan kidung
pengantar orang mati, ada juga yang berpura pura menangisi kematian orang yang
diantar kekuburan tersebut dan banyak lagi kelakuan kelakuan lucu pemuda
tersebut. Hal tersebut mendapat perhatian dan sangat menghibur masyarakat yang
menyaksikan.
Dengan menyaksikan peristiwa
tersebut penulis yang berasal dari Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten
Jemrana terinspirasi untuk membuat
sesuatu yang bermakna dan ada keterkaitannya dengan upacara
mebuwu-buwu/magegobog. Dari benak penulis tercetuslah ide untuk membuat semacam patung ringan yang menyerupai wujud Butha kala bermuka
menyeramkan sebagi symbol keburukan yang akan disomio/dinetralisir setelah
diarak keliling atau menyusuri jalan utama pada hari pengerupukan.
Ide tersebut
penulis coba realisasikan pada tahun 1982 (hari pengerupukan menjelang tahun
caka 1904) pada pagi harinya penulis
minta tolong kepada sdr Ketut Wirata, seorang seniman dari Desa Yehembang juga, untuk membuatkan sejenis
Topeng/Tapel raksasa terbuat dari blongkak/kulit kelapa.
Dibantu oleh
pemuda pemuda lain yang sering ngumpul dirumah penulis saat itu, dipandu oleh
sdr Ketut Wirata dibautlah patung ringan seperti yang diinginkan penulis, krangka
badan, tangan dan kaki dibuat dari bambu, dibungkus dengan untaian somi/ merang padi (somi=somio)
diselimuti dengan kain putih dan loreng sedemikian rupa sehingga terbentuk
wujud yang menggambarkan butha kala.
Mengingat
realisasi ide tersebut dadakan maka untuk memudahkan mengarak/mengusung patung
tersebut agar tidak menggunakan banyak personil
penulis menggunakan cikar (grobak Pedati) yang biasanya oleh orang tua
penulis digunakan sebagai alat pengangkut kopra. Patung tersebut kemudian dipasang/diikat diatas grobak, kemudian diarak
kejalan utama dengan ditarik oleh 2 (dua) orang pada bagian depan grobak
(dibagaian yang biasanya dipasang kerbau paga grobak tersebut) dan didorong
oleh beberapa orang dibelakang gerobak, sambil mebunyikan kentongan/kul-kul
serta benda-benda lain yang bisa mengeluarkan suara sebagai pengiring. Dan pada
akhir acara patung tersebut dibawa ke
sungai atau ke pantai untuk kemudian dibakar(disomia).
Kejadian tersebut
mendapat perhatian dan disambutan meriah
oleh masyarakat serta tokoh-tokoh desa saat itu. Dan jalan utama desa yehembang
adalah jalan raya Gilimanuk-Denpasar, sehingga tidak menutup kemungkinan dari
sekian banyak orang yang kebetulan lewat
dan menyaksikan peristiwa tersebut juga terinspirasi untuk melakukan atau
membuat acara yang lebih baik lagi di desanya masing masing.
Setahun setelah kejadian
tersebut di tahun 1983 (ngerupuk menjelang tahun caka 1905) arak-arakan
kelanjutan mebuwu-buwu sudah dibuat lebih istimewa oleh masyarakat, tampilan patungnya
sudah bagus-bagus terbuat dari gabus, pengusungnya ada yang menggunakan pepaga
ada yang masih menggunakan gerobak pekepungan dan adapula yang menngunakan
mobil bak terbuka, diiringi dengan musik tape recorder (belum menggunakan
gamelan/gong). Ketika itu patung yang dibuat baru hanya bentuk raksasa belum
ada yang membuat bentuk-bentuk lucu seperti belakangan ini, karenan orang masih
terinspirasi pada wujud butha kala yang menyeramkan saja.
Saat itu
masyarakat belum memberi nama “
ogoh-ogoh”, penulis menyebutnya “butha kala”, ada pula yang menyebut
“ondel-ondel”,” rangda-rangdaan” dan lain sebagainya. Ditahun tahun berikutnya
hampir disetiap desa di Bali
seperti sudah secara mentradisi pembuatan
ogoh-ogoh hingga pada akhirnya dilombakan dan menjadi iven pariwisata yang
sangat diminati oleh para wisatawan.
Pemberian nama ogoh-ogoh mungkin
saja benar berawal dari ogah=goyang (ogah-ogah=ogoh-ogoh) seperti dituliskan
oleh salah satu sumber, namun cikal bakal sampai adanya ogog-ogoh bukan “ Nak
Mula Keto” akan tetapi : Ogoh-ogoh (pada
awalnya disebut butha kala atau ondel-ondel,rangda-rangdaan dlsb) mulai ada
atau pertama kali dibuat pada tahun 1982 (sehari sebelum tahun baru caka 1904)
di Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana oleh : Nyoman
Mahardika dibantu oleh Ketut Wirata dan kawan-kawan.
Demikian cikal bakal adanya
budaya ogoh-ogoh di Bali yang terkenal saat ini. Melalui tulisan ini penulis
berharap kepada umat sedharma mohon
jangan ditinggalkan komponen terpenting pada pembuatan ogoh-ogoh yakni
ada bahan yang bersumber dari Somi (merang padi) sebagai symbol somio
(nyomio=menetralisir=mengembalikan kepada sumbernya).
Yehembang, 23 Maret 2012
(Caka 1934)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar