Selasa, 27 Desember 2016

OGOH-OGOH BALI

OGOH – OGOH
 
            Sehari menjelang  “Hari raya Nyepi” disebut hari “Pengerupukan” jatuhnya pada hari panglong 15 bertepatan dengan hari Tilem (bulan mati) sasih kesanga. Pada hari itu masyarakat Hindu di Bali melaksanakan upacara butha yadnya penetralisir kekuatan kekuatan yang bersifat keburukan seperti dengan melakukan pecaruan “ Tawur kesanga” (dalam sekala besarnya).
                Dalam rangkaian upacara tersebut, pada sandi kawon (sore menjelang malam hari) dilanjutkan dengan acara “Magegobog” atau di Jembrana biasanya disebut Mebuwu-buwu yaitu mengelilingi pekarangan rumah sambil membawa api perakpak(daun kelapa kering),obor,bunyi-bunyian, menyemburkan mesui dan memercikkan tirta, sebagai symbol nyomio (menetralisir) kekuatan kekuatan yang bersifat keburukan/ kejahatan. Setelah kegiatan magegobog tersebut dilaksanakan, kemudian dilanjutkan keluar pekarangan  membawa prangkat tadi  menuju jalan utama di Desa atau di Kota maning-masing, untuk kemudian bergabung dengan tetangga yang tadinya melakukan hal yang sama, saat tersebut tanpa di komando pada umumnya anak anak muda melanjutkan acara magegobog tersebut dengan cara berjalan menyusuri jalan utama, akan terbentuk menyerupai pawai obor, hal tersebut dilakukan setiap hari pengerupukan petang hingga malam sehingga menjadi semacam hiburan/tontotan masakat.
                Pada tahun 1981 (sehari menjelang tahun caka 1903) penulis sempat menyaksikan acara kelanjuatan megegobog yang sangat menarik perhatian. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok pemuda desa Batu Agung yang rata-rata suka melucu saat itu adalah : Di tengah tengah ramainya pawai obor dijalan raya Batu Agung menuju Kota Negara, kelompok pemuda tadi mengusung keranda (Pepaga/media pengusung jenazah ke kuburan) dengan menggunakan bangku panjang anak murid Sekolah Dasar diselimuti kain putih sedemikian rupa sehingga menyerupai keranda dengan jenazahnya  yang seperti akan diantar menuju ke kuburan, diiringi oleh pemuda pemuda lucu melantunkan kidung pengantar orang mati, ada juga yang berpura pura menangisi kematian orang yang diantar kekuburan tersebut dan banyak lagi kelakuan kelakuan lucu pemuda tersebut. Hal tersebut mendapat perhatian dan sangat menghibur masyarakat yang menyaksikan.
                Dengan menyaksikan peristiwa tersebut penulis yang berasal dari Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jemrana  terinspirasi untuk membuat sesuatu yang bermakna dan ada keterkaitannya dengan upacara mebuwu-buwu/magegobog. Dari benak penulis tercetuslah ide untuk membuat  semacam patung ringan  yang menyerupai wujud Butha kala bermuka menyeramkan sebagi symbol keburukan yang akan disomio/dinetralisir setelah diarak keliling atau menyusuri jalan utama pada hari pengerupukan.
Ide tersebut penulis coba realisasikan pada tahun 1982 (hari pengerupukan menjelang tahun caka 1904)  pada pagi harinya penulis minta tolong kepada sdr Ketut Wirata, seorang seniman  dari  Desa Yehembang juga, untuk membuatkan sejenis Topeng/Tapel raksasa terbuat dari blongkak/kulit kelapa.

Dibantu oleh pemuda pemuda lain yang sering ngumpul dirumah penulis saat itu, dipandu oleh sdr Ketut Wirata dibautlah patung ringan seperti yang diinginkan penulis, krangka badan, tangan dan kaki dibuat dari bambu, dibungkus  dengan untaian somi/ merang padi (somi=somio) diselimuti dengan kain putih dan loreng sedemikian rupa sehingga terbentuk wujud yang menggambarkan butha kala.
Mengingat realisasi ide tersebut dadakan maka untuk memudahkan mengarak/mengusung patung tersebut agar tidak menggunakan banyak personil  penulis menggunakan cikar (grobak Pedati) yang biasanya oleh orang tua penulis digunakan sebagai alat pengangkut kopra. Patung tersebut kemudian  dipasang/diikat diatas grobak, kemudian diarak kejalan utama dengan ditarik oleh 2 (dua) orang pada bagian depan grobak (dibagaian yang biasanya dipasang kerbau paga grobak tersebut) dan didorong oleh beberapa orang dibelakang gerobak, sambil mebunyikan kentongan/kul-kul serta benda-benda lain yang bisa mengeluarkan suara sebagai pengiring. Dan pada akhir acara  patung tersebut dibawa ke sungai atau ke pantai untuk kemudian dibakar(disomia).
Kejadian tersebut mendapat perhatian dan disambutan  meriah oleh masyarakat serta tokoh-tokoh desa saat itu. Dan jalan utama desa yehembang adalah jalan raya Gilimanuk-Denpasar, sehingga tidak menutup kemungkinan dari sekian banyak orang yang  kebetulan lewat dan menyaksikan peristiwa tersebut juga terinspirasi untuk melakukan atau membuat acara yang lebih baik lagi di desanya masing masing.
                Setahun setelah kejadian tersebut di tahun 1983 (ngerupuk menjelang tahun caka 1905) arak-arakan kelanjutan mebuwu-buwu sudah dibuat lebih istimewa oleh masyarakat, tampilan patungnya sudah bagus-bagus terbuat dari gabus, pengusungnya ada yang menggunakan pepaga ada yang masih menggunakan gerobak pekepungan dan adapula yang menngunakan mobil bak terbuka, diiringi dengan musik tape recorder (belum menggunakan gamelan/gong). Ketika itu patung yang dibuat baru hanya bentuk raksasa belum ada yang membuat bentuk-bentuk lucu seperti belakangan ini, karenan orang masih terinspirasi pada wujud butha kala yang menyeramkan saja.
Saat itu masyarakat belum memberi  nama “ ogoh-ogoh”, penulis menyebutnya “butha kala”, ada pula yang menyebut “ondel-ondel”,” rangda-rangdaan” dan lain sebagainya. Ditahun tahun berikutnya hampir disetiap desa  di Bali seperti  sudah secara mentradisi pembuatan ogoh-ogoh hingga pada akhirnya dilombakan dan menjadi iven pariwisata yang sangat diminati oleh para wisatawan.
                Pemberian nama ogoh-ogoh mungkin saja benar berawal dari ogah=goyang (ogah-ogah=ogoh-ogoh) seperti dituliskan oleh salah satu sumber, namun cikal bakal sampai adanya ogog-ogoh bukan “ Nak Mula Keto”  akan tetapi : Ogoh-ogoh (pada awalnya disebut butha kala atau ondel-ondel,rangda-rangdaan dlsb) mulai ada atau pertama kali dibuat pada tahun 1982 (sehari sebelum tahun baru caka 1904) di Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana oleh : Nyoman Mahardika dibantu oleh Ketut Wirata dan kawan-kawan.
                Demikian cikal bakal adanya budaya ogoh-ogoh di Bali yang terkenal saat ini. Melalui tulisan ini penulis berharap kepada umat sedharma mohon  jangan ditinggalkan komponen terpenting pada pembuatan ogoh-ogoh yakni ada bahan yang bersumber dari Somi (merang padi) sebagai symbol  somio  (nyomio=menetralisir=mengembalikan kepada sumbernya).
Yehembang, 23 Maret 2012 (Caka 1934)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar