Sebagai daerah tujuan wisata terkenal , di Bali
terdapat banyak sekali tempat untuk membeli lukisan-lukisan cantik
untuk menghias dinding rumah anda. Di sepanjang jalan di Pantai Kuta,
Legian dan Seminyak, di Sanur, di Nusa Dua, di Pasar Seni Sukawati, di
Pasar Seni Guwang, di toko oleh-oleh khas Bali seperti Kampung Bali atau
Krisna, ataupun di obyek-obyek wisata seperti di Tanah Lot terdapat
banyak toko yang menjual lukisan-lukisan khas Bali ataupun lukisan modern.
Namun bila anda bukan orang yang hanya sekedar memburu lukisan dengan
harga murah, namun ingin mengoleksi lukisan-lukisan yang memiliki nilai
artistik yang lebih tinggi dengan kualitas yang bagus, maka anda harus
meluangkan waktu berburu lukisan di berbagai galeri-galeri lukisan yang
ada di desa Batuan, Lod Tunduh, Pengosekan, Peliatan dan Ubud. Di
galeri-galeri lukisan tersebut anda dapat melihat karya-karya pelukis
Bali yang paling berbakat dari berbagai aliran seni yang ada di Bali,
baik itu Gaya Klasik Kamasan, Gaya Klasik Batuan, Gaya Tradisional Ubud,
Gaya Tradisional Pengosekan, Gaya Naive atau Young Artist, Gaya Modern,
dan karya-karya pelukis Barat atau pelukis Indonesia lainnya yang
banyak mengambil tema dari kehidupan masyarakat Bali.
Mula-mula di Bali tidak dikenal lukisan
komersial. Yang ada hanyalah lukisan sebagai kesenian sakral, karena
semata-mata dipergunakan sebagai hiasan di tempat-tempat pertunjukan, di
istana-sitana bangsawan dan di pura-pura, baik itu sebagai umbul-umbul,
kober ataupun sebagai langse dan ider-ider. Para seniman tidak menjual
lukisan hasil karyanya kepada masyarakat umum, namun hidupnya dijamin
oleh keluarga raja dan para bangsawan yang memberinya pekerjaan tetap
untuk menghias berbagai istana dan tempat ibadah yang mereka bangun.
Bahkan ada satu desa, misalnya Desa Kamasan di sebelah selatan Kota
Semarapura atau Klungkung yang hampir seluruh penduduknya berprofesi
sebagai pelukis sejak jaman kerajaan dulu hingga sekarang karena mereka
dulu memang pelukis-pelukis yang bekerja pada raja Klungkung sehingga
ditempatkan secara bersama-sama di desa Kamasan dan selalu dipekerjakan
raja untuk menghias istana (puri) dan tempat ibadah (pura) yang dibangun
keluarga raja ataupun para bangsawan lainnya.
Lukisan gaya Kamasan disebut juga Lukisan Gaya Klasik Kamasan
karena lukisan gaya ini berasal dari jaman keemasan kerajaan Bali kuno
yang belum mendapat pengaruh Eropa ataupun pengaruh luar lainnya.
Temanya biasanya berasal dari dongeng tentang kehidupan para dewa,
kehidupan kalangan bangsawan dan dongeng-dongeng binatang atau Tantri.
Jarang terdapat lukisan klasik tentang kehidupan masyarakat umum.
Warna-warnanya biasanya diambil dari warna alam, misalnya untuk warna
putih dipergunakan tulang yang dihancurkan, untuk warna hitam
dipergunakan arang, untuk warna biru dipergunakan rumput taum, untuk
warna merah digunakan babakan kayu Sunti, sedangkan untuk warna kuning
diambil dari minyak Kemiri, yang kemudian dicampur dengan perekat
sehingga menempel pada kanvas. Lukisan Gaya Klasik Kamasan hanya memakai
dua dimensi saja, panjang dan lebar, tidak ada perspektif sehingga jauh
dekat tidak terlihat, sedangkan obyek yang dilukis terlihat seperti
wayang, datar tanpa sudut pandang (perspektif) ataupun kedalaman.
Lukisan
yang sangat mirip dengan Gaya Klasik Kamasan adalah Gaya Klasik Batuan,
bedanya adalah media dan pewarna lukisannya yaitu Gaya Klasik Batuan
biasanya memakai kertas untuk media menggambar, dan sebagai pewarna
mereka biasanya memakai tinta cina karena yang sangat ditonjolkan adalah
efek berlawanan antara terang-gelap. Sekarang selain tinta cina juga
banyak dipakai warna lain selain hitam putih. Ciri lainnya adalah
lukisan ini sangat mengutamakan detail-detail sampai yang
sekecil-kecilnya sehingga terkesan sangat rumit membuatnya. Lukisan Gaya
Klasik Batuan biasanya melukiskan ceritra-ceritra rakyat Bali,
dongeng-dongeng rakyat dan semacamnya sehingga membutuhkan pemahaman
tentang kepercayaan rakyat Bali untuk memahami tema lukisannya. Walaupun
demikian, para pelukis muda seperti I Made Budi, banyak menggambar di
luar pakem tradisional, bahkan tema-tema yang sangat up-to date
dilukisnya seperti turis main surfing di laut, kedatangan Presiden
Ronald Reagan di Bali, dan yang lainnya.
Setelah Bali dikuasai oleh Belanda pada tahun 1908, para ilmuwan dan
para seniman Barat berdatangan ke Bali atas undangan Raja Ubud, Cokorda
Sukawati, yang sangat menyukai kesenian, di antaranya para pemusik, para
perancang tari, para penulis dan para pelukis. Raja Ubud ini mengundang
seniman-seniman barat yang dikenalnya untuk datang dan menetap di Ubud.
Beberapa di antaranya diberinya hadiah tanah untuk membangun studio dan
rumah, misalnya Walter Spies, seniman lukis-musik asal Jerman yang
datang pada tahun 1920, membangun rumahnya di Hotel Campuhan saat ini,
bertingkat dua dengan kolam renang dengan pemandangan indah ke Sungai
Campuhan. Miguel dan Rosa Covarrubias dari Meksiko, datang dan menetap
di Bali sejak 1930. Mereka menulis buku The Island of Bali yang hingga
kini masih menjadi acuan semua buku tentang Pulau Bali. Rudolf Bonnet
dan Adrian Le Mayeur dari Belgia datang bergabung kemudian. Pada tahun
1936 mereka mendirikan organisasi para seniman Pita Maha bersama I Gusti
Nyoman Lempad, I Sobrat dan I Tegalan. Tujuan organisasi ini adalah
untuk meningkatkan mutu karya para seniman Bali (ada 100 anggota saat
itu) dan membantu menjualkan karya-karya mereka kepada pencinta-pencinta
seni di barat. Lebih banyak seniman barat datang ke Bali: Theo Meier
dari Swiss, anthropolog Jane Belo dari Amerika Serikat, pemusik Colin
McPhee yang bekerjasama dengan Anak Agung Gede Mandra dari Peliatan
dalam melakukan eksperimen-eksperimen baru dalam musik. Hans Snell
meninggalkan ketentaraan Belanda, menikahi Siti, dan menetap di Ubud.
Begitu pula Antonio Blanco, pelukis asal Catalunya, Spanyol-lahir di
Filipina, yang menikahi modelnya, Ni Ronji, dan kemudian menetap di
Ubud.
Kedatangan para seniman Barat tersebut banyak mempengaruhi gaya lukisan
yang muncul sejak tahun 1930 di Bali, yang kemudian kita kenal sebagai
Gaya Tradisional Ubud dan Gaya Tradisional Pengosekan. Tema yang diusung
sudah menyentuh rakyat biasa ataupun peristiwa-peristiwa kehidupan
sehari-hari, misalnya suasana di sebuah pasar desa, upacara keagamaan di
pura, pekerjaan petani di sawah, dan yang semacamnya. Warna-warna yang
dipakai adalah warna-warna modern buatan pabrik dengan berbagai macam
warna. Lukisan yang dihasilkan merupakan lukisan tiga dimensi yang sudah
memperhitungkan perspektif. Para pelukis terkenal Gaya Tradisional Ubud
di antaranya adalah Anak Agung Made Sobrat dan I Dewa Nyoman Batuan.
Pada tahun 1950-an, seorang pelukis Belanda, Arie Smith, mulai
mengajak anak-anak petani asal Desa Penestanan untuk melukis setelah
mereka kembali dari bekerja di sawah. Mereka dibebaskan untuk melukis
menurut ide mereka masing-masing memakai warna-warna yang mereka sukai.
Hasil karya mereka kemudian dikenal sebagai Gaya Lukisan Young Artists
atau Naive, dengan ciri khas imajinasi anak-anak yang masih lugu,
memenuhi bidang gambar tanpa banyak mementingkan kedalaman ataupun
perspektif, dengan warna-warna yang kontras dan berani. Tokoh-tokohnya
di antaranya I Cakra dan I Ketut Soki.
Sekarang ini juga terdapat Institut Seni Indonesia (ISI) di
Jogjakarta dan di Denpasar sehingga banyak meluluskan pelukis-pelukis
intelek yang banyak menghasilkan gaya-gaya lukisan baru, yaitu Gaya
Modern atau Kontemporer, baik itu aliran Realis, Surrealis, Impresionis,
dan yang lain-lainnya. Banyak yang tetap mengusung tema tradisional
namun dilukis dengan gaya modern, misalnya pelukis I Nyoman Gunarsa dari
Klungkung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar