Dari sekian banyak tradisi perayaan Hari Raya Nyepi, ada sebuah
tradisi unik yang hanya dapat ditemui di Banjar Kaja Sesetan, Desa
Sesetan, Denpasar. Tradisi tersebut bernama omed-omedan, yaitu ritual
saling peluk dan tarik-menarik secara bergantian antara dua kelompok
muda-mudi yang rutin diadakan setiap tahun pada hari pertama setelah
Nyepi. Menurut salah seorang penglingsir dari Desa Sesetan, I Gusti
Ngurah Oka Putra, omed-omedan diperkirakan telah ada sejak abad ke-17
dan terus berlangsung hingga saat ini. Menurut pewaris Puri Oka yang
akrab disapa Ngurah Bima ini, “omed-omedan” berasal dari kata “omed”
yang berarti menarik.
Sekali waktu di masa lalu, tradisi ini
pernah ditiadakan. Tetapi, tiba-tiba di tengah desa muncul dua ekor babi
hutan yang saling bertarung. Masyarakat Desa Sesetan menganggap hal
tersebut sebagai pertanda buruk. Melihat pertanda ini, sesepuh desa pun
segera memanggil kembali para muda-mudi untuk berkumpul dan
menyelenggarakan omed-omedan seperti biasa. Setelah kejadian itu,
tradisi ini terus diadakan secara rutin sebagai upaya agar desa
terhindar dari malapetaka.
Dalam tradisi ini, para muda-mudi
setempat dikelompokkan menjadi dua grup, yaitu grup pria (teruna) dan
grup wanita (teruni). Sebelum ritual dimulai, seluruh peserta mengikuti
upacara persembahyangan bersama di Pura Banjar. Melalui persembahyangan
bersama ini, para peserta memohon kebersihan hati dan kelancaran dalam
pelaksanaan ritual omed-omedan. Setelah ritual sembahyang, ditampilkan
pertunjukan tari barong bangkung (barong babi) yang dimaksudkan untuk
mengingat kembali peristiwa beradunya sepasang babi hutan di desa ini.
Kedua
kelompok ini berbaris berhadap-hadapan dengan dipandu oleh para polisi
adat (pecalang). Kemudian, secara bergantian dipilih seorang dari
masing-masing kelompok untuk diangkat dan diarak pada posisi paling
depan barisan. Kedua kelompok ini kemudian saling beradu dan kedua
muda-mudi yang diposisikan paling depan harus saling berpelukan satu
sama lain. Saat keduanya saling berpelukan, masing-masing kelompok akan
menarik kedua rekannya tersebut hingga terlepas satu sama lain. Jika
kedua muda-mudi ini tidak juga dapat dilepaskan, panitia akan menyiram
mereka dengan air hingga basah kuyup.
Ketika pasangan muda-mudi
saling bertemu dan berpelukan erat, ada kalanya mereka akan saling
beradu pipi, kening, dan bahkan bibir. Masyarakat awam dari luar banyak
yang menyalahartikan hal ini sebagai saling berciuman. Ritual
omed-omedan pun secara salah kaprah mendapat sebutan ritual ciuman
massal dari Desa Sesetan.
Ngurah Bima mengungkapkan hal ini
kurang tepat, karena pasangan muda-mudi ini saling bertemu dalam tempo
yang singkat dan kondisi yang ricuh. Meskipun peluang itu ada dan
peserta menghendaki hal tersebut, tetapi kondisi yang keos tidak akan
memungkinkan para pesertanya untuk menikmati momen tersebut.
Di
masa lalu, masyarakat Sesetan hanya memandang tradisi omed-omedan
sebagai bagian dari wujud masima krama atau dharma shanti (menjalin
silaturahmi) antar sesama warga. Seiring perjalanan waktu, tradisi ini
ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Menyadari
hal ini, masyarakat setempat kemudian mengemas tradisi omed-omedan
sebagai sebuah festival warisan budaya tahunan dengan tajuk Omed-omedan
Cultural Heritage Festival yang juga dimeriahkan dengan bazzar dan
panggung pertunjukan. Dari tahun ke tahun, pengunjung festival ini terus
meningkat, terlebih lagi dari kalangan penggemar fotografi yang saling
berkompetisi untuk mengabadikan momentum langka tersebut sebagai objek
eksplorasi mereka
TRADISI DAN BUDAYA BALI
Selasa, 27 Desember 2016
MEGIBUNG
Tradisi Megibung Di Bali
Acara Megibung di Bali biasanya
di lakukan setelah ada upacara-upacara besar seperti pernikahan, odalan
dan upacara-upacara besar lainnya. Daerah di bali yang masih
melanjutkan tradisi ini adalah daerah-daerah yang ada di karangasem
bali.
Mengapa demikian, itu karena konon pencetus
pertama acara megibung adalah raja dari kerajaan karangasem yang saat
ini menjadi kabupatenkarang asem. Seorang raja bernama I Gusti Agung
Anglurah Ketut Karangasem sekitar tahun 1614 Caka atau 1692 Masehi.
Beliau pada saat itu masih melakukan sebuah exspedisi perluasan wilayah
sampai ke kawasan lombok.
Di dalam exspedisinya
setelah usai berperang, beliau bersama pasukannya beristirahat untuk
melepas lelah dan untuk beristirahat makan. Raja I Gusti Agung Anglurah
Ketut Karangasem kemudian memberikan titah untuk makan bersama dengan
menggunakan piring (wadah) besar yang kemudian acara makan besar bersama
itu diberi nama Megibung. Dan konon dikatakan bahwa Raja I Gusti
Agung Anglurah Ketut Karangasem juga ikut megibung bersama dengan para
pasukannya tanpa mengenal perbedaan jenjang sosial atau tahta. Mereka
yang ikut megibung membaur satu sama lain tanpa segan.
Mulai dari saat itulah acara megibung terus dilestarikan secara turun temurun sampai sekarang.
Tata Cara Megibung
Megibung dilaksanakan setelah ada upacara-upacara besar seperti pernikahan, odalan dan yang lainnya. Sebelum itu para kaun istri (sebutan untuk kaum wanita di bali) memasak secara besar-besaran untuk menjamu sanak saudara, tetangga atau para Dadie (anggota pemilik sanggah/pura).
Kemudian
setelah masakan selesai, makanan akan diletakkan di sebuah wadah yang
besar menyerupai piring dimana tata letaknya adalah nasi di
tengah-tengah dan lauk pauknya diletakkan di pinggiran nasi. Wadah besar
ini berjumlah lebih dari satu sehingga para tamu akan makan bersama
secara berkelompok.
Wadah yang telah diisi makanan
akan diletakkan di lantai sehingga para tamu duduk melingkar secara
lesehan dan kemudian menyantap makanannya bersama-sama. Mengambil
makanan tidak menggunakan sendok atau garpu, melainkan menggunakan
tangan kosong jadi sebelum mulai menyantap makanan para tamu akan
mencuci tangan mereka terlebih dahulu.
Ada tata
cara megibung, yakni para anggota dalam satu kelompok tidak boleh
mencecerkan makanan mereka di lantai, menyantap makanan harus sebersih
mungkin meskipun dalam satu kelompok itu terdiri dari 5-8 orang. Para
kaum lelaki dan perempuan tidak boleh membaur melainkan harus berada
dalam 1 kelompok yang berbeda dengan laki-laki. kemudian setelah selesai
makan, walaupun ada anggota kelompok yang sudah kenyang menyantap
makanan dia tidak boleh meninggalkan kelompok mereka begitu saja. Dia
harus menunggu anggota lainnya selesai makan baru bisa meninggalkan
tempat duduknya.
Meskipun aturan itu tidak tertulis secara langsung, namun para peserta megibung selalu mentaati dan melaksanakannya dengan baik.
Banyak
sekali keuntungan yang diperoleh dari acara makan dengan cara megibung
ini, manfaat yang paling penting adalah mempererat hubungan antara
kerabat, sanak saudara ataupun para tetangga. Itu karena disaat
melaksanakan acara megibung, selain kita makan bersama, kita juga bisa
langsung berinteraksi dengan anggota megibung satu sama lain. Mereka
akan bergurau dan bercengkrama bersama sambil menyantap makanan yang
ada. Namun tetap menjaga kebersihan dan ketertiban.
Itulah
orang bali, mereka selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kekerabatan
untuk selalu dapat mempererat hubungan mereka. Ada banyak lagi cara-cara
atau Tradisi-tradisi unik lainnya untuk mempererat hubungan satu sama lain selain dengan cara Megibung Di Bali ini. Itulah yang membuat orang bali selalu hidup tentram dan damai.
MELASTI
Pelaksaan Upacara Melasti dilakukan tiga hari (tilem kesanga) sebelum Hari Raya Nyepi, Upacara Melasti bisa juga sebut upacara Melis atau Mekilis,
dimana pada hari ini umat Hindu melakukan sembahyangan di tepi pantai
dengan tujuan untuk mensucikan diri dari segala perbuatan buruk di masa
lalu dan membuangnya kelaut,ini dilaksanakan sebelum merayakan Tapa Brata penyepian.
Dalam lontar Sundarigama berbunyi seperti ini:"....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata.". Sementara Melasti dalam ajaran
Hindu Bali berbunyi nganyudang malaning gumi ngamet Tirta Amerta atau menghanyutkan kekotoran alam menggunakan air kehidupan. Laut sebagai simbol sumberTirtha Amertha (Dewa Ruci, Pemuteran Mandaragiri). Umat Hindu di Bali melaksanakan upacara Melasti sebagai rangkaian pelaksanaan perayaan Hari Raya Nyepi.
Selain melakukan sembahyang, Melasti juga adalah hari pembersihan dan penyucian aneka benda sakral milik Pura (pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya) benda benda tersebut di usung dan diarak mengelilingi desa, ini bertujuan menyucikan desa, selanjutnya menuju samudra, laut, danau, sungai atau mata air lainnya yang dianggap suci.
Upacara dilaksanakan dengan melakukan sembahyangan bersama menghadap laut, seluruh peserta upacara mengenakan baju putih. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, seluruh benda dan perlengkapan tersebut diusung ke Balai Agung Pura desa. Sebelum Ngrupuk dilakukan nyejer dan selamatan. Umat Hindu di Bali berharap mendapat kesucian diri lahir batin serta mendapatkan berkah dari Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) untuk menghadapi kehidupan di masa yang akan datang.
Untuk menyambut Hari Raya Nyepi, pelaksaan upacara Melasti ini di bagi berdasarkan wilayah, di Ibukota provinsi dilakukan Upacara Tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata. Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah).
Makna dari upacara Melasti adalah suatu proses pembersihan diri manusia, alam dan benda benda yang di anggap sakral untuk dapat suci kembali dengan melakukan sembahyang dan permohon kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), lewat perantara air kehidupan (laut, danau, sungai ), dengan jalan dihayutkan agar segala kotoran tersebut hilang dan suci kembali. Upacara ini juga bertujuan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar Umat Hindu diberi kekuatan dalam melaksanakan rangkaian Hari Raya Nyepi.
Pelaksanaan Ritual dan seluruh perlengkapan (pralingga atau pratima Ida Bhatara benda benda yang suci dan dianggap Sakral)harus sudah kembaliberada di bale agung selambat lambatnya menjelang sore.
Pelaksaaan upacara Melasti dilengkapi dengan berbagai sesajen sebagai simbolis Trimurti, 3 dewa dalam Agama Hindu, yaituWisnu, Siwa, dan Brahma. serta Jumpana singgasana Dewa Brahma.
Dalam Lontar Sunarigama dan Sang Hyang Aji Swamandala ada empat hal yang dipesankan dalam upacara Melasti:
Melasti ngarania ngiring prewatek Dewata anganyutaken laraning jagat papa klesa, letuhing bhuwana. (Lontar Sang Hyang Aji Swamandala). Maksudnya: Melasti adalah meningkatkan Sraddha dan Bhakti pada para Dewata manifestasi Tuhan Yang Mahaesa untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa dan mencegah kerusakan alam. Setiap Sasih Kesanga umat Hindu di Nusantara mengadakan Upacara Yadnya yang disebut melasti yang dilanjutkan dengan nyejer. Ritual melasti dan nyejer ini sebagai pendahuluan dari Hari Raya Nyepi. Melasti, Nyejer dan Nyepi sebagai kegiatan keagamaan Hindu untuk memperingati Tahun Baru €aka. Hakikat semua perayaan keagamaan Hindu tersebut sebagai suatu proses evaluasi penyelenggaraan kehidupan yang dilakukan setiap tahun. Proses evaluasi ini amat dibutuhkan untuk mencermati penyelenggaraan kehidupan di bumi ini agar senantiasa berada dalam jalur yang benar sesuai dengan ketentuan pustaka suci Weda. Kutipan Lontar Sang Hyang Aji Swamandala di atas itu, menjelaskan empat tujuan Melasti. Sedangkan tujuannya yang tertinggi dinyatakan dalam Lontar Sunarigama yang dinyatakan dalam bahasa Jawa Kuno sbb: ”Melasti ngaran amet sarining amertha kamandalu ring telenging segara. ” Maksudnya: Dengan Melasti mengambil sari-sari kehidupan di tengah samudra. Dua kutipan Lontar ini, sudah amat jelas makna ritual Melasti itu sebagai proses untuk mengingatkan umat manusia akan makna tujuan hidupnya di bumi ini. Tuhan telah menciptakan berbagai sumber alam sebagai wahana dan sarana kehidupan bagi umat manusia hidup di bumi ini. Untuk hidup di bumi ini hendaknya menggunakan sari-sari alam ciptaan Tuhan. Ini artinya hendaknya dihindari mengeksploitasi sumber alam ini secara berlebihan. Untuk melakukan hal itu, umat manusia dimotivasi dengan ritual sakral tiap tahun dengan Upacara Melasti. Dari kutipan Lontar tersebut di atas, maka Melasti itu ada empat sasarannya yaitu: 1. Ngiring Prawatek Dewata. Artinya membangun sikap hidup untuk senantiasa menguatkan sraddha bhakti serta patuh pada tuntunan para Dewata sinar suci Tuhan. Umat Hindu di Bali melakukan Upacara Melasti dengan melakukan pawai keagamaan yang di Bali disebut mapeed untuk melakukan perjalanan suci menuju sumber air seperti laut dan sungai atau mata air lainnya yang dianggap memiliki nilai sakral secara keagamaan Hindu. Saat perjalanan suci dengan mapeed itu umat diharapkan melakukan bhakti pada Dewata manifestasi Tuhan dengan simbol-simbol sakral yang lewat di depan rumahnya atau sembahyang bersama saat sudah di tepi laut atau sungai. 2. Anganyutaken Laraning Jagat. Ini artinya dengan Upacara Melasti umat dimotivasi secara ritual untuk membangkitkan spiritual kita untuk berusaha menghilangkan Laraning Jagat (Sosial care). Istilah Laraning Jagat ini memang sulit sekali mencari padanannya agar ia tidak kehilangan makna. Kata Lara dan Jagat sudah sangat dipahami oleh umat Hindu di Bali. Lara ini agak mirip dengan hidup menderita. Hanya yang disebut dengan Lara tidaklah semata-mata orang yang miskin materi. Banyak juga orang kaya, orang berkuasa, orang yang berpendidikan tinggi, keturunan bangsawan hidupnya Lara. Orang kaya menggunakan kekayaannya untuk membangkitkan kehidupan yang mengumbar hawa nafsu. Kekuasaan dijadikan media untuk mengembangkan ego untuk bersombong-sombongria, atau menggunakan kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi bukan untuk mengabdi pada mereka yang menderita. Demikian juga banyak ilmuwan menjadi sombong karena merasa diri pintar. Banyak juga orang yang meninggi-ninggikan kewangsaannya. Sifat-sifat yang negatif itulah yang akan menimbulkan disharmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Jadinya menghilangkan Laraning Jagat hendaknya diaktualisasikan untuk menghilangkan sumber penderitaan masyarakat baik yang bersifat Niskala maupun yang bersifat Sekala. 3. Anganyutaken Papa Klesa. Para Pinandita maupun Pandita dalam mengantarkan Upacara Keagamaan Hindu selalu mengucapkan Mantram: Om Papa Klesa Winasanam. Mantram ini hampir tidak pernah dilupakan. Arti Mantram tersebut adalah: Ya Tuhan semoga Papa Klesa itu terbinasakan. Hidup yang ”papa” disebabkan oleh sifat-sifat klesa yang mendominasi diri pribadi manusia. Mengenai Klesa sebagai lima kekuatan negatif yang dibawa oleh Unsur Predana sudah diterangkan di bagian depan dari tulisan ini. Lima klesa (Awidya, Asmita, Raga, Dwesa dan Abhiniwesa) inilah yang harus diatasi agar jangan hidup ini menjadi papa. Hidup yang papa itu adalah hidup yang berjalan jauh di luar garis Dharma yang membawa orang semakin jauh dari Tuhan. 4. Anganyuntaken Letuhing Bhuwana. Yang dimaksud dengan Bhuwana yang ”Letuh” adalah alam yang tidak lestari. Letuh artinya kotor lahir batin. Atau dalam istilah Sarasamuscaya disebut Abhuta Hita artinya alam yang tidak lestari. Bhuta artinya unsur yang ada. Bhuta itu ada lima sehingga disebut Panca Maha Bhuta. Lima Bhuta tersebut adalah: pertiwi, apah, bayu, teja dan akasa. Lima unsur alam itulah yang wajib kita jaga kesejahteraannya. Jangan lima unsur Bhuta itu diganggu kelestariannya. Jadinya Upacara Melasti itu adalah untuk menanam nilai-nilai filosofis tersebut, sehingga setiap orang termotivasi untuk melakukan tiga langkah tersebut dalam hidupnya secara sadar dan terencana sebagai wujud bhakti pada Tuhan. Tentunya Upacara Melasti akan menjadi mubazir kalau bhakti kita pada Tuhan tidak diwujudkan untuk membenahi diri dengan menjadikan informasi agama sebagai kekuatan melakukan transformasi diri menghilangkan Panca Klesa. Dari diri yang berubah itulah, kita meningkatkan kepedulian kita pada perbaikan sosial (Sosial Care) yang disebut ”Anganyutaken laraning jagat”. Selanjutnya Melasti untuk memotivasi umat melakukan upaya pelestarian alam lingkungan
Dalam lontar Sundarigama berbunyi seperti ini:"....manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata.". Sementara Melasti dalam ajaran
Hindu Bali berbunyi nganyudang malaning gumi ngamet Tirta Amerta atau menghanyutkan kekotoran alam menggunakan air kehidupan. Laut sebagai simbol sumberTirtha Amertha (Dewa Ruci, Pemuteran Mandaragiri). Umat Hindu di Bali melaksanakan upacara Melasti sebagai rangkaian pelaksanaan perayaan Hari Raya Nyepi.
Selain melakukan sembahyang, Melasti juga adalah hari pembersihan dan penyucian aneka benda sakral milik Pura (pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya) benda benda tersebut di usung dan diarak mengelilingi desa, ini bertujuan menyucikan desa, selanjutnya menuju samudra, laut, danau, sungai atau mata air lainnya yang dianggap suci.
Upacara dilaksanakan dengan melakukan sembahyangan bersama menghadap laut, seluruh peserta upacara mengenakan baju putih. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, seluruh benda dan perlengkapan tersebut diusung ke Balai Agung Pura desa. Sebelum Ngrupuk dilakukan nyejer dan selamatan. Umat Hindu di Bali berharap mendapat kesucian diri lahir batin serta mendapatkan berkah dari Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) untuk menghadapi kehidupan di masa yang akan datang.
Untuk menyambut Hari Raya Nyepi, pelaksaan upacara Melasti ini di bagi berdasarkan wilayah, di Ibukota provinsi dilakukan Upacara Tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata. Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah).
Makna dari upacara Melasti adalah suatu proses pembersihan diri manusia, alam dan benda benda yang di anggap sakral untuk dapat suci kembali dengan melakukan sembahyang dan permohon kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), lewat perantara air kehidupan (laut, danau, sungai ), dengan jalan dihayutkan agar segala kotoran tersebut hilang dan suci kembali. Upacara ini juga bertujuan memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar Umat Hindu diberi kekuatan dalam melaksanakan rangkaian Hari Raya Nyepi.
Pelaksanaan Ritual dan seluruh perlengkapan (pralingga atau pratima Ida Bhatara benda benda yang suci dan dianggap Sakral)harus sudah kembaliberada di bale agung selambat lambatnya menjelang sore.
Pelaksaaan upacara Melasti dilengkapi dengan berbagai sesajen sebagai simbolis Trimurti, 3 dewa dalam Agama Hindu, yaituWisnu, Siwa, dan Brahma. serta Jumpana singgasana Dewa Brahma.
Dalam Lontar Sunarigama dan Sang Hyang Aji Swamandala ada empat hal yang dipesankan dalam upacara Melasti:
- Mengingatkan agar terus meningkatkan baktinya kepada Tuhan (ngiring parwatek dewata).
- Peningkatan bakti itu untuk membangun kepedulian agar dengan aktif melakukan pengentasan penderitaan hidup bersama dalam masyarakat (anganyutaken laraning jagat).
- Membangun sikap hidup yang peduli dengan penderitaan hidup bersama itu harus melakukan upaya untuk menguatkan diri dengan membersihkan kekotoran rohani diri sendiri (anganyut aken papa klesa).
- Bersama-sama menjaga kelestarian alam ini (anganyut aken letuhan bhuwana).
- Upacara Melasti dimulai iring-iringan umat membawa sarana-sarana upacara serta jempana dan barong yang akan diarak menuju tempat sumber air (danau, sungai atau pantai yang letaknya tidak jauh dari Pura di desa terdekat) dengan diiringi tabuh beleganjur.
- Setelah tiba di tepi sumber air, upacara Melaspas dilanjutkan dengan proses pengambilan air suci gunak membersihkan sarana-sarana upacara termasuk jempana dan barong. Dalam pelaksanaan upacara ini dilakukan sembahyangan bersama. Setelah sembahyangan bersama seluruh sarana-sarana upacara serta barong dibawa kembali ke pura.
- Upacara Melaspas kemudian dilanjutkan dengan upacara Tawur Agung yang dilaksanakan di pelataran parkir Pura. Dalam upacara Tawur Agung ini dihaturkan persembahan berupa caru yang ditujukan kepada para bhuta. Setelah penghaturan caru dilanjutkan dengan pengerupukan dengan membunyikan kentongan dan membakar obor. Obor dan suara dari kentongan tersebut dibawa berkeliling di areal Pura. Sesampainya kembali di pelataran parkir semua sarana upacara tersebut dibakar menjadi satu.
- Upacara pengerupukan dan Tawur Agung ditutup dengan pelaksanaan kirtan Tri Murti di tempat pembakaran sarana upacara. Setelah kirtan, umat berisitirahat sambil menunggu pesiapan persembahyangan tilem. Persembahyangan tilem berjalan dengan khidmat dan lancar hingga usai.
Melasti ngarania ngiring prewatek Dewata anganyutaken laraning jagat papa klesa, letuhing bhuwana. (Lontar Sang Hyang Aji Swamandala). Maksudnya: Melasti adalah meningkatkan Sraddha dan Bhakti pada para Dewata manifestasi Tuhan Yang Mahaesa untuk menghanyutkan penderitaan masyarakat, menghilangkan papa klesa dan mencegah kerusakan alam. Setiap Sasih Kesanga umat Hindu di Nusantara mengadakan Upacara Yadnya yang disebut melasti yang dilanjutkan dengan nyejer. Ritual melasti dan nyejer ini sebagai pendahuluan dari Hari Raya Nyepi. Melasti, Nyejer dan Nyepi sebagai kegiatan keagamaan Hindu untuk memperingati Tahun Baru €aka. Hakikat semua perayaan keagamaan Hindu tersebut sebagai suatu proses evaluasi penyelenggaraan kehidupan yang dilakukan setiap tahun. Proses evaluasi ini amat dibutuhkan untuk mencermati penyelenggaraan kehidupan di bumi ini agar senantiasa berada dalam jalur yang benar sesuai dengan ketentuan pustaka suci Weda. Kutipan Lontar Sang Hyang Aji Swamandala di atas itu, menjelaskan empat tujuan Melasti. Sedangkan tujuannya yang tertinggi dinyatakan dalam Lontar Sunarigama yang dinyatakan dalam bahasa Jawa Kuno sbb: ”Melasti ngaran amet sarining amertha kamandalu ring telenging segara. ” Maksudnya: Dengan Melasti mengambil sari-sari kehidupan di tengah samudra. Dua kutipan Lontar ini, sudah amat jelas makna ritual Melasti itu sebagai proses untuk mengingatkan umat manusia akan makna tujuan hidupnya di bumi ini. Tuhan telah menciptakan berbagai sumber alam sebagai wahana dan sarana kehidupan bagi umat manusia hidup di bumi ini. Untuk hidup di bumi ini hendaknya menggunakan sari-sari alam ciptaan Tuhan. Ini artinya hendaknya dihindari mengeksploitasi sumber alam ini secara berlebihan. Untuk melakukan hal itu, umat manusia dimotivasi dengan ritual sakral tiap tahun dengan Upacara Melasti. Dari kutipan Lontar tersebut di atas, maka Melasti itu ada empat sasarannya yaitu: 1. Ngiring Prawatek Dewata. Artinya membangun sikap hidup untuk senantiasa menguatkan sraddha bhakti serta patuh pada tuntunan para Dewata sinar suci Tuhan. Umat Hindu di Bali melakukan Upacara Melasti dengan melakukan pawai keagamaan yang di Bali disebut mapeed untuk melakukan perjalanan suci menuju sumber air seperti laut dan sungai atau mata air lainnya yang dianggap memiliki nilai sakral secara keagamaan Hindu. Saat perjalanan suci dengan mapeed itu umat diharapkan melakukan bhakti pada Dewata manifestasi Tuhan dengan simbol-simbol sakral yang lewat di depan rumahnya atau sembahyang bersama saat sudah di tepi laut atau sungai. 2. Anganyutaken Laraning Jagat. Ini artinya dengan Upacara Melasti umat dimotivasi secara ritual untuk membangkitkan spiritual kita untuk berusaha menghilangkan Laraning Jagat (Sosial care). Istilah Laraning Jagat ini memang sulit sekali mencari padanannya agar ia tidak kehilangan makna. Kata Lara dan Jagat sudah sangat dipahami oleh umat Hindu di Bali. Lara ini agak mirip dengan hidup menderita. Hanya yang disebut dengan Lara tidaklah semata-mata orang yang miskin materi. Banyak juga orang kaya, orang berkuasa, orang yang berpendidikan tinggi, keturunan bangsawan hidupnya Lara. Orang kaya menggunakan kekayaannya untuk membangkitkan kehidupan yang mengumbar hawa nafsu. Kekuasaan dijadikan media untuk mengembangkan ego untuk bersombong-sombongria, atau menggunakan kekuasaan untuk mengeruk keuntungan pribadi bukan untuk mengabdi pada mereka yang menderita. Demikian juga banyak ilmuwan menjadi sombong karena merasa diri pintar. Banyak juga orang yang meninggi-ninggikan kewangsaannya. Sifat-sifat yang negatif itulah yang akan menimbulkan disharmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Jadinya menghilangkan Laraning Jagat hendaknya diaktualisasikan untuk menghilangkan sumber penderitaan masyarakat baik yang bersifat Niskala maupun yang bersifat Sekala. 3. Anganyutaken Papa Klesa. Para Pinandita maupun Pandita dalam mengantarkan Upacara Keagamaan Hindu selalu mengucapkan Mantram: Om Papa Klesa Winasanam. Mantram ini hampir tidak pernah dilupakan. Arti Mantram tersebut adalah: Ya Tuhan semoga Papa Klesa itu terbinasakan. Hidup yang ”papa” disebabkan oleh sifat-sifat klesa yang mendominasi diri pribadi manusia. Mengenai Klesa sebagai lima kekuatan negatif yang dibawa oleh Unsur Predana sudah diterangkan di bagian depan dari tulisan ini. Lima klesa (Awidya, Asmita, Raga, Dwesa dan Abhiniwesa) inilah yang harus diatasi agar jangan hidup ini menjadi papa. Hidup yang papa itu adalah hidup yang berjalan jauh di luar garis Dharma yang membawa orang semakin jauh dari Tuhan. 4. Anganyuntaken Letuhing Bhuwana. Yang dimaksud dengan Bhuwana yang ”Letuh” adalah alam yang tidak lestari. Letuh artinya kotor lahir batin. Atau dalam istilah Sarasamuscaya disebut Abhuta Hita artinya alam yang tidak lestari. Bhuta artinya unsur yang ada. Bhuta itu ada lima sehingga disebut Panca Maha Bhuta. Lima Bhuta tersebut adalah: pertiwi, apah, bayu, teja dan akasa. Lima unsur alam itulah yang wajib kita jaga kesejahteraannya. Jangan lima unsur Bhuta itu diganggu kelestariannya. Jadinya Upacara Melasti itu adalah untuk menanam nilai-nilai filosofis tersebut, sehingga setiap orang termotivasi untuk melakukan tiga langkah tersebut dalam hidupnya secara sadar dan terencana sebagai wujud bhakti pada Tuhan. Tentunya Upacara Melasti akan menjadi mubazir kalau bhakti kita pada Tuhan tidak diwujudkan untuk membenahi diri dengan menjadikan informasi agama sebagai kekuatan melakukan transformasi diri menghilangkan Panca Klesa. Dari diri yang berubah itulah, kita meningkatkan kepedulian kita pada perbaikan sosial (Sosial Care) yang disebut ”Anganyutaken laraning jagat”. Selanjutnya Melasti untuk memotivasi umat melakukan upaya pelestarian alam lingkungan
NGUREK
Ngurek adalah atraksi menusuk diri dengan menggunakan
senjata keris, ini berlangsung ketika para pelaku berada dalam keadaan
kerasukan (diluar kesadaran). Ngurek berkaitan erat dengan ritual
keagamaan bahkan disejumlah desa adat di Bali tradisi ini wajib
dilangsungkan. Ngurek bisa disebut juga dengan Ngunying, Ngurek
merupakan wujud bakti seseorang yang dipersembahkan kepada Sang Hyang
Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
Ngurek termasuk dalam upacara Dewa Yadnya yaitu pengorbanan/persembahan suci yang tulus ihklas. Menurut ajaran agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia, mahluk hidup beserta isinya berdasarkan atas Yadnya, maka dengan itu manusia di harapkan dapat memelihara, mengembangkan dan mengabdikan diri nya kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
Ngurek berasal dari kata ‘urek’ yang berarti lobangi atau tusuk, jadi Ngurek dapat diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris, tombak atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerasukan. Karena Ngurek dilakukan dalam kondisi kerasukan atau diluar kesadaran, maka roh lain yang masuk ketubuh akan memberi kekuatan, sehingga orang yang melakukan Ngurek ini menjadi kebal, dan ini merupakan suatu keunikan sekaligus misteri yang sulit dijelaskan.
Tradisi Ngurek tidak tahu kapan mulai dilakukan, konon ini terjadi pada jaman kejayaan kerajaan. Saat itu sang raja ingin membuat pesta yang tujuannya untuk menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan sekaligus menyenangkan hati para prajuritnya. Setelah dilakukan sejumlah upacara, kemudian memasuki tahap hiburan, mulai dari sabung ayam, hingga tari-tarian yang menunjukkan kedigdayaan para prajurit, maka dari tradisi ini munculah Tari Ngurek atau Tari Ngunying.
Ngurek, menusuk diri dengan keris dalam keadaan kerasukan atau tidak sadar ini pada zamannya hanya dilakukan oleh para pemangku, namun kini orang yang melakukan Ngurek tak lagi dibedakan statusnya,bisa pemangku, penyungsung pura, anggota krama desa, tokoh masyarakat, laki-laki dan perempuan. Tapi suasananya tetap yaitu mereka melakukannya dalam keadaan kerasukan atau trance. Kendati keris yang terhunus itu ditancapkan ketubuh, namun tidak setitikpun darah yang keluar atau terluka.
Ngurek ini biasa dilakukan di luar kompleks pura utama. Sebelum Ngurek dilakukan, biasanya Barong dan Rangda serta para pepatih yang kerasukan itu keluar dari dalam kompleks pura utama dan mengelilingi wantilan pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal itulah, para pepatih mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi.
Kerasukan dalam Ngurek, biasanya terjadi setelah melakukan proses ritual. Untuk mencapai klimaks kerasukan, mereka harus melakukan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut secara garis besar dibagi menjadi tiga yang terdiri dari:
Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap yang beraroma harum menyengat agar segera kerasukan. Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi-bunyian gamelan.
Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku ngurek pada jati dirinya. Masuknya roh kedalam diri para pengurek ini ditandai oleh keadaan: badan menggigil, gemetar, mengerang dan memekik, dengan di iringi suara gending gamelan, para pengurek yang kerasukan, langsung menancapkan senjata, biasanya berupa keris pada bagian tubuh di atas pusar seperti dada, dahi, bahu, leher, alis dan mata, walaupun keris tersebut ditancapkan dan ditekan kuat kuat secara berulang ulang, jangankan berdarah, tergores pun tidak kulit para pengurek tersebut, roh yang ada didalam tubuh para pengurek ini menjaga tubuh mereka agar kebal, tidak mempan dengan senjata.
Ngurek mempunyai gaya masing-masing, ada yang berdiri sembari menancapkan keris ke bagian tubuh, seperti dada atau mata, ada pula yang bersandar di pelinggih. Setelah upacara selesai, para pelaku ngurek kembali ke kompleks pura utama.
Tradisi Ngurek ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali, dimana saat upacara mengundang roh leluhur dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk, dan menjadi sebuah tanda, bahwa roh-roh yang diundang telah hadir di sekitar mereka. Tradisi Ngurek juga dipercaya, untuk mengundang Ida Bhatara dan para Rencang-Nya, berkenan menerima persembahan ritual saat upacara. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerasukan dan mulai Ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara sudah turunnya ke marcapada (dunia), maka umat yang mengikuti prosesi ritual kian mantap dengan semangat bhaktinya.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, apa pun yang kita lakukan dengan pasrah, berserah diri dan ihklas kepada Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa), maka akan mendapat anugrah dan karunia.
Ngurek termasuk dalam upacara Dewa Yadnya yaitu pengorbanan/persembahan suci yang tulus ihklas. Menurut ajaran agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia, mahluk hidup beserta isinya berdasarkan atas Yadnya, maka dengan itu manusia di harapkan dapat memelihara, mengembangkan dan mengabdikan diri nya kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
Ngurek berasal dari kata ‘urek’ yang berarti lobangi atau tusuk, jadi Ngurek dapat diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris, tombak atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerasukan. Karena Ngurek dilakukan dalam kondisi kerasukan atau diluar kesadaran, maka roh lain yang masuk ketubuh akan memberi kekuatan, sehingga orang yang melakukan Ngurek ini menjadi kebal, dan ini merupakan suatu keunikan sekaligus misteri yang sulit dijelaskan.
Tradisi Ngurek tidak tahu kapan mulai dilakukan, konon ini terjadi pada jaman kejayaan kerajaan. Saat itu sang raja ingin membuat pesta yang tujuannya untuk menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan sekaligus menyenangkan hati para prajuritnya. Setelah dilakukan sejumlah upacara, kemudian memasuki tahap hiburan, mulai dari sabung ayam, hingga tari-tarian yang menunjukkan kedigdayaan para prajurit, maka dari tradisi ini munculah Tari Ngurek atau Tari Ngunying.
Ngurek, menusuk diri dengan keris dalam keadaan kerasukan atau tidak sadar ini pada zamannya hanya dilakukan oleh para pemangku, namun kini orang yang melakukan Ngurek tak lagi dibedakan statusnya,bisa pemangku, penyungsung pura, anggota krama desa, tokoh masyarakat, laki-laki dan perempuan. Tapi suasananya tetap yaitu mereka melakukannya dalam keadaan kerasukan atau trance. Kendati keris yang terhunus itu ditancapkan ketubuh, namun tidak setitikpun darah yang keluar atau terluka.
Ngurek ini biasa dilakukan di luar kompleks pura utama. Sebelum Ngurek dilakukan, biasanya Barong dan Rangda serta para pepatih yang kerasukan itu keluar dari dalam kompleks pura utama dan mengelilingi wantilan pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal itulah, para pepatih mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi.
Kerasukan dalam Ngurek, biasanya terjadi setelah melakukan proses ritual. Untuk mencapai klimaks kerasukan, mereka harus melakukan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut secara garis besar dibagi menjadi tiga yang terdiri dari:
Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap yang beraroma harum menyengat agar segera kerasukan. Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi-bunyian gamelan.
Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku ngurek pada jati dirinya. Masuknya roh kedalam diri para pengurek ini ditandai oleh keadaan: badan menggigil, gemetar, mengerang dan memekik, dengan di iringi suara gending gamelan, para pengurek yang kerasukan, langsung menancapkan senjata, biasanya berupa keris pada bagian tubuh di atas pusar seperti dada, dahi, bahu, leher, alis dan mata, walaupun keris tersebut ditancapkan dan ditekan kuat kuat secara berulang ulang, jangankan berdarah, tergores pun tidak kulit para pengurek tersebut, roh yang ada didalam tubuh para pengurek ini menjaga tubuh mereka agar kebal, tidak mempan dengan senjata.
Ngurek mempunyai gaya masing-masing, ada yang berdiri sembari menancapkan keris ke bagian tubuh, seperti dada atau mata, ada pula yang bersandar di pelinggih. Setelah upacara selesai, para pelaku ngurek kembali ke kompleks pura utama.
Tradisi Ngurek ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali, dimana saat upacara mengundang roh leluhur dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk, dan menjadi sebuah tanda, bahwa roh-roh yang diundang telah hadir di sekitar mereka. Tradisi Ngurek juga dipercaya, untuk mengundang Ida Bhatara dan para Rencang-Nya, berkenan menerima persembahan ritual saat upacara. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerasukan dan mulai Ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara sudah turunnya ke marcapada (dunia), maka umat yang mengikuti prosesi ritual kian mantap dengan semangat bhaktinya.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, apa pun yang kita lakukan dengan pasrah, berserah diri dan ihklas kepada Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa), maka akan mendapat anugrah dan karunia.
LUKISAN BALI
Sebagai daerah tujuan wisata terkenal , di Bali
terdapat banyak sekali tempat untuk membeli lukisan-lukisan cantik
untuk menghias dinding rumah anda. Di sepanjang jalan di Pantai Kuta,
Legian dan Seminyak, di Sanur, di Nusa Dua, di Pasar Seni Sukawati, di
Pasar Seni Guwang, di toko oleh-oleh khas Bali seperti Kampung Bali atau
Krisna, ataupun di obyek-obyek wisata seperti di Tanah Lot terdapat
banyak toko yang menjual lukisan-lukisan khas Bali ataupun lukisan modern.
Namun bila anda bukan orang yang hanya sekedar memburu lukisan dengan harga murah, namun ingin mengoleksi lukisan-lukisan yang memiliki nilai artistik yang lebih tinggi dengan kualitas yang bagus, maka anda harus meluangkan waktu berburu lukisan di berbagai galeri-galeri lukisan yang ada di desa Batuan, Lod Tunduh, Pengosekan, Peliatan dan Ubud. Di galeri-galeri lukisan tersebut anda dapat melihat karya-karya pelukis Bali yang paling berbakat dari berbagai aliran seni yang ada di Bali, baik itu Gaya Klasik Kamasan, Gaya Klasik Batuan, Gaya Tradisional Ubud, Gaya Tradisional Pengosekan, Gaya Naive atau Young Artist, Gaya Modern, dan karya-karya pelukis Barat atau pelukis Indonesia lainnya yang banyak mengambil tema dari kehidupan masyarakat Bali.
Mula-mula di Bali tidak dikenal lukisan komersial. Yang ada hanyalah lukisan sebagai kesenian sakral, karena semata-mata dipergunakan sebagai hiasan di tempat-tempat pertunjukan, di istana-sitana bangsawan dan di pura-pura, baik itu sebagai umbul-umbul, kober ataupun sebagai langse dan ider-ider. Para seniman tidak menjual lukisan hasil karyanya kepada masyarakat umum, namun hidupnya dijamin oleh keluarga raja dan para bangsawan yang memberinya pekerjaan tetap untuk menghias berbagai istana dan tempat ibadah yang mereka bangun. Bahkan ada satu desa, misalnya Desa Kamasan di sebelah selatan Kota Semarapura atau Klungkung yang hampir seluruh penduduknya berprofesi sebagai pelukis sejak jaman kerajaan dulu hingga sekarang karena mereka dulu memang pelukis-pelukis yang bekerja pada raja Klungkung sehingga ditempatkan secara bersama-sama di desa Kamasan dan selalu dipekerjakan raja untuk menghias istana (puri) dan tempat ibadah (pura) yang dibangun keluarga raja ataupun para bangsawan lainnya.
Lukisan gaya Kamasan disebut juga Lukisan Gaya Klasik Kamasan karena lukisan gaya ini berasal dari jaman keemasan kerajaan Bali kuno yang belum mendapat pengaruh Eropa ataupun pengaruh luar lainnya. Temanya biasanya berasal dari dongeng tentang kehidupan para dewa, kehidupan kalangan bangsawan dan dongeng-dongeng binatang atau Tantri. Jarang terdapat lukisan klasik tentang kehidupan masyarakat umum. Warna-warnanya biasanya diambil dari warna alam, misalnya untuk warna putih dipergunakan tulang yang dihancurkan, untuk warna hitam dipergunakan arang, untuk warna biru dipergunakan rumput taum, untuk warna merah digunakan babakan kayu Sunti, sedangkan untuk warna kuning diambil dari minyak Kemiri, yang kemudian dicampur dengan perekat sehingga menempel pada kanvas. Lukisan Gaya Klasik Kamasan hanya memakai dua dimensi saja, panjang dan lebar, tidak ada perspektif sehingga jauh dekat tidak terlihat, sedangkan obyek yang dilukis terlihat seperti wayang, datar tanpa sudut pandang (perspektif) ataupun kedalaman.
Lukisan yang sangat mirip dengan Gaya Klasik Kamasan adalah Gaya Klasik Batuan, bedanya adalah media dan pewarna lukisannya yaitu Gaya Klasik Batuan biasanya memakai kertas untuk media menggambar, dan sebagai pewarna mereka biasanya memakai tinta cina karena yang sangat ditonjolkan adalah efek berlawanan antara terang-gelap. Sekarang selain tinta cina juga banyak dipakai warna lain selain hitam putih. Ciri lainnya adalah lukisan ini sangat mengutamakan detail-detail sampai yang sekecil-kecilnya sehingga terkesan sangat rumit membuatnya. Lukisan Gaya Klasik Batuan biasanya melukiskan ceritra-ceritra rakyat Bali, dongeng-dongeng rakyat dan semacamnya sehingga membutuhkan pemahaman tentang kepercayaan rakyat Bali untuk memahami tema lukisannya. Walaupun demikian, para pelukis muda seperti I Made Budi, banyak menggambar di luar pakem tradisional, bahkan tema-tema yang sangat up-to date dilukisnya seperti turis main surfing di laut, kedatangan Presiden Ronald Reagan di Bali, dan yang lainnya.
Setelah Bali dikuasai oleh Belanda pada tahun 1908, para ilmuwan dan para seniman Barat berdatangan ke Bali atas undangan Raja Ubud, Cokorda Sukawati, yang sangat menyukai kesenian, di antaranya para pemusik, para perancang tari, para penulis dan para pelukis. Raja Ubud ini mengundang seniman-seniman barat yang dikenalnya untuk datang dan menetap di Ubud. Beberapa di antaranya diberinya hadiah tanah untuk membangun studio dan rumah, misalnya Walter Spies, seniman lukis-musik asal Jerman yang datang pada tahun 1920, membangun rumahnya di Hotel Campuhan saat ini, bertingkat dua dengan kolam renang dengan pemandangan indah ke Sungai Campuhan. Miguel dan Rosa Covarrubias dari Meksiko, datang dan menetap di Bali sejak 1930. Mereka menulis buku The Island of Bali yang hingga kini masih menjadi acuan semua buku tentang Pulau Bali. Rudolf Bonnet dan Adrian Le Mayeur dari Belgia datang bergabung kemudian. Pada tahun 1936 mereka mendirikan organisasi para seniman Pita Maha bersama I Gusti Nyoman Lempad, I Sobrat dan I Tegalan. Tujuan organisasi ini adalah untuk meningkatkan mutu karya para seniman Bali (ada 100 anggota saat itu) dan membantu menjualkan karya-karya mereka kepada pencinta-pencinta seni di barat. Lebih banyak seniman barat datang ke Bali: Theo Meier dari Swiss, anthropolog Jane Belo dari Amerika Serikat, pemusik Colin McPhee yang bekerjasama dengan Anak Agung Gede Mandra dari Peliatan dalam melakukan eksperimen-eksperimen baru dalam musik. Hans Snell meninggalkan ketentaraan Belanda, menikahi Siti, dan menetap di Ubud. Begitu pula Antonio Blanco, pelukis asal Catalunya, Spanyol-lahir di Filipina, yang menikahi modelnya, Ni Ronji, dan kemudian menetap di Ubud.
Kedatangan para seniman Barat tersebut banyak mempengaruhi gaya lukisan yang muncul sejak tahun 1930 di Bali, yang kemudian kita kenal sebagai Gaya Tradisional Ubud dan Gaya Tradisional Pengosekan. Tema yang diusung sudah menyentuh rakyat biasa ataupun peristiwa-peristiwa kehidupan sehari-hari, misalnya suasana di sebuah pasar desa, upacara keagamaan di pura, pekerjaan petani di sawah, dan yang semacamnya. Warna-warna yang dipakai adalah warna-warna modern buatan pabrik dengan berbagai macam warna. Lukisan yang dihasilkan merupakan lukisan tiga dimensi yang sudah memperhitungkan perspektif. Para pelukis terkenal Gaya Tradisional Ubud di antaranya adalah Anak Agung Made Sobrat dan I Dewa Nyoman Batuan.
Pada tahun 1950-an, seorang pelukis Belanda, Arie Smith, mulai mengajak anak-anak petani asal Desa Penestanan untuk melukis setelah mereka kembali dari bekerja di sawah. Mereka dibebaskan untuk melukis menurut ide mereka masing-masing memakai warna-warna yang mereka sukai. Hasil karya mereka kemudian dikenal sebagai Gaya Lukisan Young Artists atau Naive, dengan ciri khas imajinasi anak-anak yang masih lugu, memenuhi bidang gambar tanpa banyak mementingkan kedalaman ataupun perspektif, dengan warna-warna yang kontras dan berani. Tokoh-tokohnya di antaranya I Cakra dan I Ketut Soki.
Sekarang ini juga terdapat Institut Seni Indonesia (ISI) di Jogjakarta dan di Denpasar sehingga banyak meluluskan pelukis-pelukis intelek yang banyak menghasilkan gaya-gaya lukisan baru, yaitu Gaya Modern atau Kontemporer, baik itu aliran Realis, Surrealis, Impresionis, dan yang lain-lainnya. Banyak yang tetap mengusung tema tradisional namun dilukis dengan gaya modern, misalnya pelukis I Nyoman Gunarsa dari Klungkung.
Namun bila anda bukan orang yang hanya sekedar memburu lukisan dengan harga murah, namun ingin mengoleksi lukisan-lukisan yang memiliki nilai artistik yang lebih tinggi dengan kualitas yang bagus, maka anda harus meluangkan waktu berburu lukisan di berbagai galeri-galeri lukisan yang ada di desa Batuan, Lod Tunduh, Pengosekan, Peliatan dan Ubud. Di galeri-galeri lukisan tersebut anda dapat melihat karya-karya pelukis Bali yang paling berbakat dari berbagai aliran seni yang ada di Bali, baik itu Gaya Klasik Kamasan, Gaya Klasik Batuan, Gaya Tradisional Ubud, Gaya Tradisional Pengosekan, Gaya Naive atau Young Artist, Gaya Modern, dan karya-karya pelukis Barat atau pelukis Indonesia lainnya yang banyak mengambil tema dari kehidupan masyarakat Bali.
Mula-mula di Bali tidak dikenal lukisan komersial. Yang ada hanyalah lukisan sebagai kesenian sakral, karena semata-mata dipergunakan sebagai hiasan di tempat-tempat pertunjukan, di istana-sitana bangsawan dan di pura-pura, baik itu sebagai umbul-umbul, kober ataupun sebagai langse dan ider-ider. Para seniman tidak menjual lukisan hasil karyanya kepada masyarakat umum, namun hidupnya dijamin oleh keluarga raja dan para bangsawan yang memberinya pekerjaan tetap untuk menghias berbagai istana dan tempat ibadah yang mereka bangun. Bahkan ada satu desa, misalnya Desa Kamasan di sebelah selatan Kota Semarapura atau Klungkung yang hampir seluruh penduduknya berprofesi sebagai pelukis sejak jaman kerajaan dulu hingga sekarang karena mereka dulu memang pelukis-pelukis yang bekerja pada raja Klungkung sehingga ditempatkan secara bersama-sama di desa Kamasan dan selalu dipekerjakan raja untuk menghias istana (puri) dan tempat ibadah (pura) yang dibangun keluarga raja ataupun para bangsawan lainnya.
Lukisan gaya Kamasan disebut juga Lukisan Gaya Klasik Kamasan karena lukisan gaya ini berasal dari jaman keemasan kerajaan Bali kuno yang belum mendapat pengaruh Eropa ataupun pengaruh luar lainnya. Temanya biasanya berasal dari dongeng tentang kehidupan para dewa, kehidupan kalangan bangsawan dan dongeng-dongeng binatang atau Tantri. Jarang terdapat lukisan klasik tentang kehidupan masyarakat umum. Warna-warnanya biasanya diambil dari warna alam, misalnya untuk warna putih dipergunakan tulang yang dihancurkan, untuk warna hitam dipergunakan arang, untuk warna biru dipergunakan rumput taum, untuk warna merah digunakan babakan kayu Sunti, sedangkan untuk warna kuning diambil dari minyak Kemiri, yang kemudian dicampur dengan perekat sehingga menempel pada kanvas. Lukisan Gaya Klasik Kamasan hanya memakai dua dimensi saja, panjang dan lebar, tidak ada perspektif sehingga jauh dekat tidak terlihat, sedangkan obyek yang dilukis terlihat seperti wayang, datar tanpa sudut pandang (perspektif) ataupun kedalaman.
Lukisan yang sangat mirip dengan Gaya Klasik Kamasan adalah Gaya Klasik Batuan, bedanya adalah media dan pewarna lukisannya yaitu Gaya Klasik Batuan biasanya memakai kertas untuk media menggambar, dan sebagai pewarna mereka biasanya memakai tinta cina karena yang sangat ditonjolkan adalah efek berlawanan antara terang-gelap. Sekarang selain tinta cina juga banyak dipakai warna lain selain hitam putih. Ciri lainnya adalah lukisan ini sangat mengutamakan detail-detail sampai yang sekecil-kecilnya sehingga terkesan sangat rumit membuatnya. Lukisan Gaya Klasik Batuan biasanya melukiskan ceritra-ceritra rakyat Bali, dongeng-dongeng rakyat dan semacamnya sehingga membutuhkan pemahaman tentang kepercayaan rakyat Bali untuk memahami tema lukisannya. Walaupun demikian, para pelukis muda seperti I Made Budi, banyak menggambar di luar pakem tradisional, bahkan tema-tema yang sangat up-to date dilukisnya seperti turis main surfing di laut, kedatangan Presiden Ronald Reagan di Bali, dan yang lainnya.
Setelah Bali dikuasai oleh Belanda pada tahun 1908, para ilmuwan dan para seniman Barat berdatangan ke Bali atas undangan Raja Ubud, Cokorda Sukawati, yang sangat menyukai kesenian, di antaranya para pemusik, para perancang tari, para penulis dan para pelukis. Raja Ubud ini mengundang seniman-seniman barat yang dikenalnya untuk datang dan menetap di Ubud. Beberapa di antaranya diberinya hadiah tanah untuk membangun studio dan rumah, misalnya Walter Spies, seniman lukis-musik asal Jerman yang datang pada tahun 1920, membangun rumahnya di Hotel Campuhan saat ini, bertingkat dua dengan kolam renang dengan pemandangan indah ke Sungai Campuhan. Miguel dan Rosa Covarrubias dari Meksiko, datang dan menetap di Bali sejak 1930. Mereka menulis buku The Island of Bali yang hingga kini masih menjadi acuan semua buku tentang Pulau Bali. Rudolf Bonnet dan Adrian Le Mayeur dari Belgia datang bergabung kemudian. Pada tahun 1936 mereka mendirikan organisasi para seniman Pita Maha bersama I Gusti Nyoman Lempad, I Sobrat dan I Tegalan. Tujuan organisasi ini adalah untuk meningkatkan mutu karya para seniman Bali (ada 100 anggota saat itu) dan membantu menjualkan karya-karya mereka kepada pencinta-pencinta seni di barat. Lebih banyak seniman barat datang ke Bali: Theo Meier dari Swiss, anthropolog Jane Belo dari Amerika Serikat, pemusik Colin McPhee yang bekerjasama dengan Anak Agung Gede Mandra dari Peliatan dalam melakukan eksperimen-eksperimen baru dalam musik. Hans Snell meninggalkan ketentaraan Belanda, menikahi Siti, dan menetap di Ubud. Begitu pula Antonio Blanco, pelukis asal Catalunya, Spanyol-lahir di Filipina, yang menikahi modelnya, Ni Ronji, dan kemudian menetap di Ubud.
Kedatangan para seniman Barat tersebut banyak mempengaruhi gaya lukisan yang muncul sejak tahun 1930 di Bali, yang kemudian kita kenal sebagai Gaya Tradisional Ubud dan Gaya Tradisional Pengosekan. Tema yang diusung sudah menyentuh rakyat biasa ataupun peristiwa-peristiwa kehidupan sehari-hari, misalnya suasana di sebuah pasar desa, upacara keagamaan di pura, pekerjaan petani di sawah, dan yang semacamnya. Warna-warna yang dipakai adalah warna-warna modern buatan pabrik dengan berbagai macam warna. Lukisan yang dihasilkan merupakan lukisan tiga dimensi yang sudah memperhitungkan perspektif. Para pelukis terkenal Gaya Tradisional Ubud di antaranya adalah Anak Agung Made Sobrat dan I Dewa Nyoman Batuan.
Pada tahun 1950-an, seorang pelukis Belanda, Arie Smith, mulai mengajak anak-anak petani asal Desa Penestanan untuk melukis setelah mereka kembali dari bekerja di sawah. Mereka dibebaskan untuk melukis menurut ide mereka masing-masing memakai warna-warna yang mereka sukai. Hasil karya mereka kemudian dikenal sebagai Gaya Lukisan Young Artists atau Naive, dengan ciri khas imajinasi anak-anak yang masih lugu, memenuhi bidang gambar tanpa banyak mementingkan kedalaman ataupun perspektif, dengan warna-warna yang kontras dan berani. Tokoh-tokohnya di antaranya I Cakra dan I Ketut Soki.
Sekarang ini juga terdapat Institut Seni Indonesia (ISI) di Jogjakarta dan di Denpasar sehingga banyak meluluskan pelukis-pelukis intelek yang banyak menghasilkan gaya-gaya lukisan baru, yaitu Gaya Modern atau Kontemporer, baik itu aliran Realis, Surrealis, Impresionis, dan yang lain-lainnya. Banyak yang tetap mengusung tema tradisional namun dilukis dengan gaya modern, misalnya pelukis I Nyoman Gunarsa dari Klungkung.
LAYANGAN BALI
Rare Angon Sejarah Layangan Tradisional Bali
Endang
Ernawati pendiri Museum Layang-layang Indonesia mengatakan, selama ini di
Indonesia memang tidak ada referensi tentang layang-layang. Menurutnya, karena
sejak dulu budaya Indonesia bukan budaya menulis, tapi bercerita. erat
kaitannya dengan budaya setempat. Di Jawa dan Bali misalnya, menerbangkan
layangan merupakan sebagai bentuk berterimakasih pada Sang Pencipta.
"Makanya ada istilah Lare Angon di Jawa dan Rare Angon (penggembala) di Bali. Merekalah yang menerbangkan layangan di ladang," katanya.
"Makanya ada istilah Lare Angon di Jawa dan Rare Angon (penggembala) di Bali. Merekalah yang menerbangkan layangan di ladang," katanya.
Memudarnya
tradisi ini di Jawa, karena terlalu banyak budaya masuk ke tanah jawa setelah
kerajaan Majapahit runtuh. "Di Jawa karena juga sudah masuk Agama Islam
maka tradisi itu luntur dan tidak ada regenerasi,Sementara di Bali,masih
lestari hingga sekarang karena agama Hindu yang merupakan agama kerajaan dulu,
masih berjaya.
Layang-layang
dan juga tradisi Melayangan sangat erat kaitannya dengan cerita rare angon,
Dipercaya bahwa Dewa Siwa dalam manivestasinya sebagai Rare angon merupakan
Dewa Layang-layang.Pada musim layangan atau setelah panen di sawah Rare angon
turun ke Bumi diiringi dngen tiupan seruling bertanda untuk memanggil sang
angin.Rare Angon berarti anak gembala, setelah musim panen para prtani terutama
anak gembala mempunyai waktu senggang yang mereka gunakan untuk senang-senang.
Sambil menjaga ternaknya salah satu permainan yang sering mereka lakukan adalah
bermain Layang-layang.
Saat
ini ” melayangan”
masih sering dilaksanakan oleh masyarakat bali, baik anak-anak sampai
orang dewasa. Dibuktikan dengan banyaknya diadakan kompetisi layangan dan
“seka”, grup layangan di bali.
Bentuk
layang-layang Tradisional dari dulu tidak berubah hanya teknik pembuatanya yang
berkembang itu karena masyarakat bali menghormati apa yang telah diberikan oleh
leluhur secara turun-temurun. layang Be-bean, Pecukan dan janggan merupakan
tiga jenis Layang-layang Tradisiolan Bali yang sudah sangat dikenal.
1 Layangan Bebean
Be
yang berarti Ikan, layang-layang Be-bean berarti layangan berbentuk seekor
Ikan. bagaikan ikan yang berenang dan menari-nari dalam air dan juga memiliki
suara guangan yang indah, hidup Ikan selalu tergantung pada
air,sinar,tanah,Udara dan angkasa yang kesemuanya itu merupakan unsur Maha di
beberapa daerah di Bali layangan
ini disebut "layangan kepes,bahkan di Desa Mengwi layangan ini
disebut layangan
Potongan Badung dan Di wilayah sanur juga memiliki bebean khas daerah sanur
yang memiliki sedikit perbedaan dari be-bean daerah lain.
Layangan
ini sangat simple, nama Pecuk diambil karena layang-layang ini mempunyai 4
sudut dan bentuknya menekuk yang dalam bahasa Bali adalah Pecuk. layangan
ini sangat lincah di udara dan bisa menyambar nyambar jadi dibutuhkan keahlian
khusus untuk menerbangkannya. Pecukan ini dapat dibandingkan dengan Ulu Chandra
yaitu Windu, Merupakan Wijaksana simbol Hyang Widhi Wasa., dalam festival
laying-layang ini di nilai berdasarkan keahlian orang yang menerbangkannya dan
ketahanan layangan ini berada diudara.
Janggan
merupakan layangan sakral salah satu layangan yang dipercaya sebagai naga sang
penjaga kestabilan dunia. Menurut mitos, bumi ditopang oleh seekor kura-kura
raksasa bernama benawang nala. Dan bumi tersebut dikelilingi oleh tubung seekor
naga bernama naga besuki. Naga itulah yang diabadikan menjadi layangan janggan.
janggan terlihat menarik dengan hiasan ekornya yang bisa mencapai ratusan
meter,
Layangan
Janggan adalah layang-layang adat Bali yang sakral. Sebelum dan sesudah
diterbangkan, layangan ini harus disucikan terlebih dahulu. Seperti halnya
Layang janggan krama banjar Yangbatu Kangin yang merupakan wahana dari Ida
Betara Ratu Ayu Mas Anglayang sebagai perwujudan Ida Betara Siwa yang mengayomi
dan memberikan kehidupan kepada seluruh masyarakat.
OGOH-OGOH BALI
OGOH
– OGOH
Sehari
menjelang “Hari raya Nyepi” disebut hari
“Pengerupukan” jatuhnya pada hari panglong 15 bertepatan dengan hari Tilem
(bulan mati) sasih kesanga. Pada hari itu masyarakat Hindu di Bali melaksanakan
upacara butha yadnya penetralisir kekuatan kekuatan yang bersifat keburukan
seperti dengan melakukan pecaruan “ Tawur kesanga” (dalam sekala besarnya).
Dalam rangkaian upacara
tersebut, pada sandi kawon (sore menjelang malam hari) dilanjutkan dengan acara
“Magegobog” atau di Jembrana biasanya disebut Mebuwu-buwu yaitu mengelilingi
pekarangan rumah sambil membawa api perakpak(daun kelapa kering),obor,bunyi-bunyian,
menyemburkan mesui dan memercikkan tirta, sebagai symbol nyomio (menetralisir)
kekuatan kekuatan yang bersifat keburukan/ kejahatan. Setelah kegiatan
magegobog tersebut dilaksanakan, kemudian dilanjutkan keluar pekarangan membawa prangkat tadi menuju jalan utama di Desa atau di Kota
maning-masing, untuk kemudian bergabung dengan tetangga yang tadinya melakukan
hal yang sama, saat tersebut tanpa di komando pada umumnya anak anak muda
melanjutkan acara magegobog tersebut dengan cara berjalan menyusuri jalan
utama, akan terbentuk menyerupai pawai obor, hal tersebut dilakukan setiap hari
pengerupukan petang hingga malam sehingga menjadi semacam hiburan/tontotan
masakat.
Pada tahun 1981 (sehari
menjelang tahun caka 1903) penulis sempat menyaksikan acara kelanjuatan
megegobog yang sangat menarik perhatian. Adapun kegiatan yang dilakukan oleh
sekelompok pemuda desa Batu Agung yang rata-rata suka melucu saat itu adalah :
Di tengah tengah ramainya pawai obor dijalan raya Batu Agung menuju Kota
Negara, kelompok pemuda tadi mengusung keranda (Pepaga/media pengusung jenazah
ke kuburan) dengan menggunakan bangku panjang anak murid Sekolah Dasar
diselimuti kain putih sedemikian rupa sehingga menyerupai keranda dengan
jenazahnya yang seperti akan diantar
menuju ke kuburan, diiringi oleh pemuda pemuda lucu melantunkan kidung
pengantar orang mati, ada juga yang berpura pura menangisi kematian orang yang
diantar kekuburan tersebut dan banyak lagi kelakuan kelakuan lucu pemuda
tersebut. Hal tersebut mendapat perhatian dan sangat menghibur masyarakat yang
menyaksikan.
Dengan menyaksikan peristiwa
tersebut penulis yang berasal dari Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten
Jemrana terinspirasi untuk membuat
sesuatu yang bermakna dan ada keterkaitannya dengan upacara
mebuwu-buwu/magegobog. Dari benak penulis tercetuslah ide untuk membuat semacam patung ringan yang menyerupai wujud Butha kala bermuka
menyeramkan sebagi symbol keburukan yang akan disomio/dinetralisir setelah
diarak keliling atau menyusuri jalan utama pada hari pengerupukan.
Ide tersebut
penulis coba realisasikan pada tahun 1982 (hari pengerupukan menjelang tahun
caka 1904) pada pagi harinya penulis
minta tolong kepada sdr Ketut Wirata, seorang seniman dari Desa Yehembang juga, untuk membuatkan sejenis
Topeng/Tapel raksasa terbuat dari blongkak/kulit kelapa.
Dibantu oleh
pemuda pemuda lain yang sering ngumpul dirumah penulis saat itu, dipandu oleh
sdr Ketut Wirata dibautlah patung ringan seperti yang diinginkan penulis, krangka
badan, tangan dan kaki dibuat dari bambu, dibungkus dengan untaian somi/ merang padi (somi=somio)
diselimuti dengan kain putih dan loreng sedemikian rupa sehingga terbentuk
wujud yang menggambarkan butha kala.
Mengingat
realisasi ide tersebut dadakan maka untuk memudahkan mengarak/mengusung patung
tersebut agar tidak menggunakan banyak personil
penulis menggunakan cikar (grobak Pedati) yang biasanya oleh orang tua
penulis digunakan sebagai alat pengangkut kopra. Patung tersebut kemudian dipasang/diikat diatas grobak, kemudian diarak
kejalan utama dengan ditarik oleh 2 (dua) orang pada bagian depan grobak
(dibagaian yang biasanya dipasang kerbau paga grobak tersebut) dan didorong
oleh beberapa orang dibelakang gerobak, sambil mebunyikan kentongan/kul-kul
serta benda-benda lain yang bisa mengeluarkan suara sebagai pengiring. Dan pada
akhir acara patung tersebut dibawa ke
sungai atau ke pantai untuk kemudian dibakar(disomia).
Kejadian tersebut
mendapat perhatian dan disambutan meriah
oleh masyarakat serta tokoh-tokoh desa saat itu. Dan jalan utama desa yehembang
adalah jalan raya Gilimanuk-Denpasar, sehingga tidak menutup kemungkinan dari
sekian banyak orang yang kebetulan lewat
dan menyaksikan peristiwa tersebut juga terinspirasi untuk melakukan atau
membuat acara yang lebih baik lagi di desanya masing masing.
Setahun setelah kejadian
tersebut di tahun 1983 (ngerupuk menjelang tahun caka 1905) arak-arakan
kelanjutan mebuwu-buwu sudah dibuat lebih istimewa oleh masyarakat, tampilan patungnya
sudah bagus-bagus terbuat dari gabus, pengusungnya ada yang menggunakan pepaga
ada yang masih menggunakan gerobak pekepungan dan adapula yang menngunakan
mobil bak terbuka, diiringi dengan musik tape recorder (belum menggunakan
gamelan/gong). Ketika itu patung yang dibuat baru hanya bentuk raksasa belum
ada yang membuat bentuk-bentuk lucu seperti belakangan ini, karenan orang masih
terinspirasi pada wujud butha kala yang menyeramkan saja.
Saat itu
masyarakat belum memberi nama “
ogoh-ogoh”, penulis menyebutnya “butha kala”, ada pula yang menyebut
“ondel-ondel”,” rangda-rangdaan” dan lain sebagainya. Ditahun tahun berikutnya
hampir disetiap desa di Bali
seperti sudah secara mentradisi pembuatan
ogoh-ogoh hingga pada akhirnya dilombakan dan menjadi iven pariwisata yang
sangat diminati oleh para wisatawan.
Pemberian nama ogoh-ogoh mungkin
saja benar berawal dari ogah=goyang (ogah-ogah=ogoh-ogoh) seperti dituliskan
oleh salah satu sumber, namun cikal bakal sampai adanya ogog-ogoh bukan “ Nak
Mula Keto” akan tetapi : Ogoh-ogoh (pada
awalnya disebut butha kala atau ondel-ondel,rangda-rangdaan dlsb) mulai ada
atau pertama kali dibuat pada tahun 1982 (sehari sebelum tahun baru caka 1904)
di Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana oleh : Nyoman
Mahardika dibantu oleh Ketut Wirata dan kawan-kawan.
Demikian cikal bakal adanya
budaya ogoh-ogoh di Bali yang terkenal saat ini. Melalui tulisan ini penulis
berharap kepada umat sedharma mohon
jangan ditinggalkan komponen terpenting pada pembuatan ogoh-ogoh yakni
ada bahan yang bersumber dari Somi (merang padi) sebagai symbol somio
(nyomio=menetralisir=mengembalikan kepada sumbernya).
Yehembang, 23 Maret 2012
(Caka 1934)
Langganan:
Postingan (Atom)